Dewasa ini, kita dibuat seolah harus ‘melek’ dengan adanya isu-isu yang ada di dalam dunia perpolitikan. Di mana yang sebelumnya kita apatis terhadap isu politik namun pada kenyataannya, kita sudah tidak bisa menyangkal akan isu-isu politik tersebut dikarenakan sistem dalam dunia politik pada masa kini dikenal semakin jauh dari kata reformasi.
Isu tersebut bisa dikatakan semakin jauh dari kata reformasi dikarenakan isu yang muncul sudah tidak memiliki tujuan utama untuk menciptakan suatu sistem yang terbuka, akuntabel, dan inklusif.
Salah satu isu politik yang jauh dari tujuan utama untuk menciptakannya reformasi, ialah politik dinasti.
Secara sederhana, politik dinasti dapat ditafsirkan sebagai rezim kekuasaan politik atau pelaku politik yang dilakukan secara turun-temurun atau oleh anggota keluarga atau saudara dekat dari seseorang yang memiliki kekuasaan.
Keluarga yang paling dekat biasanya menempati posisi penting di puncak struktur kelembagaan lembaga politik.
Banyak praktik politik dinasti terjadi selama era Pemilihan Umum (pemilu). Provinsi Banten telah menyaksikan salah satu fenomena dinasti politik yang sudah menjadi rahasia umum.
Satu yang paling menarik perhatian dan bahkan sempat mengguncangkan masyarakat Indonesia adalah Dinasti Ratu Atut yang masih ada di Provinsi Banten.
Dimulai dengan kemenangan Ratu Atut Chosiyah sebagai gubernur Banten dari tahun 2007 hingga 2014 di mana tahun tersebut menjadi pintu masuk bagi Ratu Atut Chosiyah untuk memulai melebarkan dinastinya di provinsi Banten.
Kemudian akhir-akhir ini yang sedang ramai dibicarakan, yaitu adanya praktik politik dinasti yang dibangun oleh seorang presiden Indonesia, Joko Widodo. Minggu (22/10/2023) Ketua Umum Parta Gerindra Prabowo Subianto resmi mengumumkan putra sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, sebagai bakal calom wakil presidennya.
Keputusan itu tentunya menuai banyak pro dan kontra terutama diranah publik karena dianggap telah memuluskan praktik politik dinasti yang dibangun Jokowi.
Apabila Gibran Rakabuming Raka memenangkan kontestasi sebagai cawapres di pilpres 2024, bisa dipastikan bahwa Jokowi memang membangun dinastinya apalagi ini sudah dibuktikan bahwa putra bungsu, Kaesang Pangarep yang juga akan mencalonkan diri sebagai walikota Depok di Pilkada Depok 2024 dan menantunya, Bobby Nasution yang telah menjadi walikota Medan pada Pilkada Medan 2020.
Menurut data dari Kementrian Dalam Negeri menunjukkan bahwa pada tahun 2005-2014 ada 60 atau 11 persen kasus dinasti politik yang berlangsung selama Pilkada.
Jumlah itu cenderung meningkat selama rentang waktu 2015-2018 menjadi 117 atau 21 persen. Tentunya 11 persen menjadi 21 persen merupakan tingkatan yang besar. Kemudian di 2020, Pilkada serentak terakhir sebelum 2024, bertambah menjadi 175 atau 32 persen.
Dikarenakan tidak dapat melepaskan diri dari sistem nilai-nilai masa lalu yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan demokrasi secara keseluruhan, praktik politik dinasti Indonesia terus berkembang dan menyeluruh. Hal ini menyebabkan munculnya rasa kekhawatiran akibat dari adanya ketidakadilan dalam penyebaran kekuatan politik dan berdampak pada rusaknya iklim demokrasi.
Maka dari itu, beberapa pengamat berpendapat bahwa politik dinasti akan menghasilkan oligarki politik dan iklim yang tidak kondusif bagi upaya regenerasi kepemimpinan politik, di mana kekuasaan hanya dipegang atau dikuasai oleh orang-orang yang memiliki hubungan keluarga atau kekerabatan, tanpa memberikan celah bagi orang lain untuk berpartisipasi.
Selain itu, politik dinasti akan berdampak buruk pada akuntabilitas birokrasi dan pemerintahan karena mereka cenderung serakah pada suatu sistem.
Menurut kalian, apakah politik dinasti ini sesuai dengan sistem demokrasi Indonesia?
Sebagian besar masyarakat berpendapat bahwa praktik politik dinasti berbanding terbalik dengan sistem demokrasi dan sistem dasar negara Indonesia.
Ada alasan mengapa masyarakat beranggapan sedemikian, salah satunya terdapat campur tangan antar relasi orang dalam di mana sudah memiliki privilege lebih yang menjadikan politik dinasti lebih mengutamakan oligarki bukan demokrasi, yang seharusnya demokrasi dari rakyat dan untuk rakyat malah menjadi untuk keluarga/satu golongan saja.
Jika partai politik yang mendukungnya memajukan seseorang hanya karena elektabilitasnya yang tinggi, itu akan menghancurkan peluang bagi orang yang jauh lebih berbakat tetapi tidak mempunyai privilege lebih dalam hal relasi.
Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa praktik politik dinasti perlu dihindari atau bahkan dihilangkan serta harus dilakukan upaya-upaya tentang masalah politik yang dikhawatirkan dapat merusak sistem demokrasi Indonesia. Ada beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk menghindari praktik politik di Indonesia antara lain :
Pertama, perlu perbaikan regulasi agar Pemilihan Umum (Pemilu) lebih adil. Adanya aturan yang tegas dapat mencegah dominasi keluarga politik dan memberikan peluang bagi kandidat baru yang memiliki integritas dan kualitas. Untuk menjaga keadilan dalam sistem bernegara, sudah seharusnya ada aturan yang membatasi politik dinasti.
Kedua, perlu meningkatkan pendidikan politik untuk masyarakat dan partai politik. Banyak masyarakat yang masih bersifat pragmatis dan tradisional membutuhkan pendidikan yang berkaitan dengan politik dan pemilu.
Banyak masyarakat memilih pemimpin hanya berdasarkan ketenaran dan eksistensi daripada kualitas dan integritas dari para calon. Begitu juga, partai politik cenderung memilih calon pemimpin hanya berdasarkan ketenaran dan eksistensi daripada kualitas dan track record prestasi dari para calon.
Namun, dari beberapa upaya yang disebutkan di atas, kesadaran tentang etika politik adalah yang paling penting untuk menghindari adanya politik dinasti.
Memang benar bahwa setiap warga negara memiliki hak untuk memilih pemimpin, tetapi sebagai negara yang berbasis demokrasi, semua orang harus tahu apa arti sebenarnya dari demokrasi.
Harapan penulis semoga para pemimpin yang terpilih di masa depan memiliki kualitas dan kemampuan yang diperlukan untuk memajukan negara.
Para calon pemimpin juga harus menjadi pusat perhatian bagi pemerintah untuk memastikan bahwa mereka yang saat ini berkuasa adalah pemimpin yang sebenarnya bisa memimpin negara dengan baik dan memikirkan kesejahteraan rakyatnya.
Penulis: Laras Damasaty
mahasiswa Universitas Sultan Ageng Tirtayasa