Jimly Asshiddiqie: Indonesia Republik, Tapi Kelakuannya Kerajaan

Jimly Asshiddiqie: Indonesia Republik, Tapi Kelakuannya Kerajaan

FOKUS POLITIK – Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), Jimly Asshiddiqie, mengkritik fenomena politik dinasti yang marak terjadi di Indonesia. Ia menilai, Indonesia sebagai negara republik, seharusnya tidak memiliki budaya politik yang feodal dan kerajaan.

Hal itu disampaikan Jimly saat menjadi pembicara dalam Silaturahmi Kerja Nasional (Silatnas) Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) di Sulawesi pada Sabtu (4/11/2023). Acara tersebut juga dihadiri oleh Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto, yang merupakan calon presiden dari Koalisi Indonesia Maju (KIM).

Jimly membandingkan Indonesia dengan Inggris, yang meskipun berbentuk kerajaan, tetapi memiliki perilaku politik yang republik. Ia mencontohkan, bagaimana raja atau ratu di Inggris tidak ikut campur dalam urusan pemerintahan, dan tidak ada praktik politik dinasti di antara anggota keluarga kerajaan.

“Indonesia tidak begitu saya bilang. Indonesia itu republik, tetapi kelakuannya kerajaan,” ujar Jimly, yang juga menjabat sebagai Penasihat ICMI.

Jimly mengatakan, sebagai orang berintelektual, semestinya budaya feodalisme dalam tubuh berbagai partai politik (parpol) di Indonesia perlu dilihat secara objektif dan dicarikan solusi jangka panjangnya. Ia mengkritik, bagaimana banyak parpol yang dipimpin oleh keluarga atau kerabat dekat dari pendirinya, dan tidak memberikan kesempatan kepada kader-kader muda yang berpotensi.

“Bukan saling menyalahkan. Ini semua feodal ini. Lalu, bicara dinasti. Nah, ini (politik) dinasti semua. Tidak perlu saya sebut partainya, kalian sudah paham,” katanya.

Jimly menekankan, Indonesia harus memiliki komitmen membangun peradaban bangsa dan memodernisasi berbagai aspek, termasuk budaya politik. Ia menilai, budaya politik di Indonesia masih sangat tergantung pada figur, dan tidak memperhatikan kualitas institusi politik.

Ia pun memberikan contoh sejarah Amerika Serikat (AS) yang budaya politiknya sudah modern. Ia menyebut, bagaimana mantan Presiden Barack Obama tidak bisa mempengaruhi hasil pemilihan presiden tahun 2016, ketika ia mendukung Hillary Clinton, yang akhirnya kalah dari Donald Trump.

“(Mantan Presiden Barack) Obama kampanye untuk Hillary (Clinton), kalah. Artinya, presiden yang sudah menjabat tidak berpengaruh lagi,” kata Jimly.

Jimly mengatakan, budaya feodal tidak berpengaruh terhadap institusi politik di AS yang telah mapan. Sedangkan Indonesia justru sebaliknya, budaya feodal dengan institusi politik yang masih lemah, sehingga sangat tergantung dengan figur. Maka, perlu perbaikan kualitas institusi politik. Apalagi, konflik kepentingan dalam institusi politik menjadi sumber suburnya tindakan penyalahgunaan kekuasaan atau korupsi.

Jimly juga memberikan saran kepada Prabowo Subianto, yang dianggap melanggengkan dinasti politik Presiden Joko Widodo (Jokowi) usai memilih Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres pendampingnya. Ia berharap, Prabowo tidak hanya berpikir untuk menikmati kekuasaan, tetapi juga peduli dan berbagi dengan rakyat.

“Jadi tantangan bagi kita memberi dukungan pada capres sambil kita memberi masukan. Mudah-mudahan beliau-beliau ini ketika menjadi presiden, ini memikirkan kepentingan penataan kembali jangka panjang. Bukan saling berebutan untuk menikmati, bukan berebutan sharing dengan tangan di atas. Mudah-mudahan tokoh seperti Pak Prabowo ini bukan untuk menikmati tapi, caring dan sharing,” ujar Jimly.

Sebelumnya, Prabowo Subianto menganggap dinasti politik keluarga Jokowi sebagai sesuatu yang wajar. Praktik dinasti politik terjadi di seluruh parpol.

“Kalau kita jujur, Anda lihat di semua partai, termasuk PDI P, ada dinasti politik. Dan, itu tidak negatif,” ujar Prabowo dalam konferensi pers usai menerima dukungan dari PSI, yang dipimpin Kaesang Pangarep, adik Gibran pada Selasa (24/10/2023).