FOKUS SEJARAH – Konflik antara Palestina dan Israel adalah salah satu konflik terpanjang dan terkompleks di dunia. Konflik ini telah berlangsung selama lebih dari 70 tahun, dengan akar sejarah yang bisa ditelusuri hingga ratusan tahun sebelumnya. Konflik ini melibatkan berbagai faktor, seperti agama, etnis, nasionalisme, politik, hak asasi manusia, dan kepentingan internasional.
Konflik ini tidak hanya berdampak pada kedua belah pihak yang bertikai, tetapi juga pada kawasan Timur Tengah dan dunia secara keseluruhan. Konflik ini telah menimbulkan banyak korban jiwa, pengungsi, pelanggaran hak asasi manusia, kerusakan infrastruktur, ketidakstabilan keamanan, dan ketegangan diplomatik.
Namun, apa sebenarnya penyebab konflik Palestina-Israel? Mengapa konflik ini sulit diselesaikan? Apa solusi yang ditawarkan oleh berbagai pihak untuk mengakhiri konflik ini? Artikel ini akan mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan mengulas beberapa aspek penting yang terkait dengan konflik Palestina-Israel.
Sejarah Konflik Palestina-Israel
Untuk memahami konflik Palestina-Israel, kita perlu mengetahui sejarahnya terlebih dahulu. Sejarah konflik ini bisa dibagi menjadi beberapa periode, yaitu:
Periode Pra-1948: Munculnya Gerakan Zionis dan Nasionalis Arab
Periode ini dimulai sejak akhir abad ke-19 hingga tahun 1948. Pada periode ini, wilayah Palestina masih berada di bawah kekuasaan Kekaisaran Ottoman (Turki Utsmani), yang merupakan salah satu kekuatan besar di dunia saat itu. Wilayah Palestina dihuni oleh mayoritas penduduk Arab Muslim, dengan minoritas penduduk Yahudi dan Kristen.
Pada akhir abad ke-19, muncul gerakan Zionis di Eropa, yang merupakan gerakan nasionalis Yahudi yang ingin mendirikan negara Yahudi di tanah leluhur mereka, yaitu Palestina. Gerakan Zionis dipicu oleh adanya diskriminasi dan antisemitisme yang dialami oleh Yahudi di Eropa. Gerakan Zionis mendapat dukungan dari Inggris, yang saat itu merupakan negara imperialis yang memiliki pengaruh besar di dunia.
Gerakan Zionis mulai mendorong imigrasi Yahudi ke Palestina secara besar-besaran. Hal ini menimbulkan ketegangan dengan penduduk Arab Palestina, yang merasa terancam oleh kedatangan orang-orang asing yang ingin merebut tanah mereka. Maka mulailah terjadi bentrokan antara Yahudi dan Arab di Palestina.
Pada tahun 1917, Inggris mengeluarkan Deklarasi Balfour, yang merupakan surat resmi yang menyatakan dukungan Inggris terhadap pembentukan “tanah air nasional” bagi Yahudi di Palestina. Deklarasi ini dianggap sebagai janji Inggris kepada gerakan Zionis untuk membantu mereka mewujudkan cita-cita mereka. Deklarasi ini juga dianggap sebagai pengkhianatan Inggris kepada Arab, yang sebelumnya telah berjanji untuk memberikan kemerdekaan kepada mereka jika mereka mau membantu Inggris melawan Ottoman dalam Perang Dunia I.
Pada tahun 1918, setelah Perang Dunia I berakhir, Ottoman mengalami kekalahan dan runtuh. Wilayah Palestina kemudian jatuh ke tangan Inggris sebagai mandat dari Liga Bangsa-Bangsa (pendahulu PBB). Inggris berusaha mengatur wilayah Palestina dengan mempertimbangkan kepentingan Yahudi dan Arab. Namun, upaya ini gagal karena kedua belah pihak tidak mau berkompromi.
Pada tahun 1936-1939, terjadi Pemberontakan Arab Pertama di Palestina, yang merupakan protes bersenjata oleh Arab terhadap kebijakan Inggris yang pro-Zionis. Pemberontakan ini berhasil ditumpas oleh Inggris dengan bantuan Yahudi. Namun, pemberontakan ini juga menimbulkan korban jiwa yang banyak di kedua belah pihak.
Pada tahun 1939, Inggris mengeluarkan Buku Putih, yang merupakan dokumen yang mengubah kebijakan Inggris terhadap Palestina. Buku Putih ini membatasi imigrasi Yahudi ke Palestina, mengakui hak Arab atas Palestina, dan menjanjikan kemerdekaan Palestina dalam 10 tahun. Buku Putih ini ditolak oleh Yahudi, yang merasa dikhianati oleh Inggris. Buku Putih ini juga tidak memuaskan Arab, yang merasa tidak mendapat jaminan yang cukup.
Pada tahun 1941-1945, terjadi Perang Dunia II, yang merupakan perang global yang melibatkan hampir semua negara di dunia. Perang ini menyebabkan kematian lebih dari 60 juta orang, termasuk 6 juta Yahudi yang dibunuh oleh Nazi Jerman dalam Holocaust. Perang ini juga menyebabkan pergeseran kekuatan dunia, dengan munculnya Amerika Serikat dan Uni Soviet sebagai negara adidaya baru.
Perang Dunia II juga berdampak pada konflik Palestina-Israel. Di satu sisi, perang ini meningkatkan simpati dunia terhadap nasib Yahudi, yang menjadi korban Holocaust. Di sisi lain, perang ini juga meningkatkan nasionalisme Arab, yang ingin membebaskan diri dari penjajahan Barat. Perang ini juga melemahkan posisi Inggris, yang tidak mampu lagi mengontrol wilayah mandatnya.
Periode 1948-1967: Perang Arab-Israel dan Pembentukan Negara Palestina
Periode ini dimulai sejak tahun 1948 hingga tahun 1967. Pada periode ini, terjadi peristiwa penting yang menentukan nasib Palestina dan Israel, yaitu:
Pembentukan Negara Israel
Pada tanggal 29 November 1947, PBB mengeluarkan deklarasi pembentukan Negara Israel, Deklarasi ini didukung oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet, yang merupakan negara adidaya baru setelah Perang Dunia II. Deklarasi ini juga diakui oleh sebagian besar negara di dunia.
Namun, deklarasi ini juga menimbulkan reaksi keras dari negara-negara Arab, yang menganggap Israel sebagai negara ilegal yang dibentuk dengan cara merampas tanah Palestina. Pada tanggal 15 Mei 1948, sehari setelah deklarasi Israel, negara-negara Arab seperti Mesir, Suriah, Lebanon, Irak, dan Yordania menyerang Israel dengan tujuan menghapuskan negara tersebut. Maka meletuslah Perang Arab-Israel Pertama.
Perang Arab-Israel Pertama
Perang Arab-Israel Pertama berlangsung dari tahun 1948 hingga tahun 1949. Perang ini merupakan perang yang sengit dan berdarah antara Israel dan negara-negara Arab. Perang ini juga melibatkan pasukan-pasukan sukarelawan dari Palestina dan negara-negara Islam lainnya.
Perang ini berakhir dengan kemenangan Israel, yang berhasil mempertahankan eksistensinya sebagai negara merdeka. Israel juga berhasil merebut sebagian besar wilayah yang ditetapkan oleh PBB untuk negara Arab, termasuk Yerusalem Barat. Israel juga menguasai sebagian wilayah Mesir (Gaza) dan Yordania (Tepi Barat).
Perang ini menyebabkan kekalahan dan kehancuran bagi negara-negara Arab, yang gagal menghapuskan Israel. Perang ini juga menyebabkan nasib tragis bagi rakyat Palestina, yang kehilangan tanah air mereka. Sekitar 700 ribu orang Palestina menjadi pengungsi di negara-negara tetangga atau di kamp-kamp pengungsian di Gaza dan Tepi Barat.
Perang ini diakhiri dengan ditandatanganinya Perjanjian Gencatan Senjata antara Israel dan negara-negara Arab pada tahun 1949. Perjanjian ini menetapkan garis-garis gencatan senjata (armistice lines) yang memisahkan wilayah-wilayah yang dikuasai oleh masing-masing pihak. Garis-garis ini kemudian dikenal sebagai Garis Hijau (Green Line), yang menjadi batas de facto antara Israel dan Palestina.
Pembentukan Negara Palestina
Pada tahun 1948, saat Israel mendeklarasikan kemerdekaannya, pemimpin gerakan nasionalis Arab Palestina Ahmed Shukeiri juga mendeklarasikan berdirinya Negara Palestina di wilayah yang ditetapkan oleh PBB untuk negara Arab. Namun, deklarasi ini tidak mendapat pengakuan dari dunia internasional maupun dari negara-negara Arab sendiri.
Negara Palestina yang dideklarasikan oleh Shukeiri tidak memiliki pemerintahan atau institusi yang efektif. Wilayahnya juga terpecah-pecah menjadi dua bagian, yaitu Gaza dan Tepi Barat, yang masing-masing berada di bawah kendali Mesir dan Yordania. Rakyat Palestina juga hidup dalam kondisi miskin, tertindas, dan tidak berdaya.
Pada tahun 1959, muncul gerakan baru dalam perjuangan rakyat Palestina, yaitu Gerakan Pembebasan Nasional Palestina (Palestine Liberation Movement), yang lebih dikenal dengan nama Fatah. Fatah dipimpin oleh Yasser Arafat, yang merupakan tokoh karismatik dan militan dalam gerakan nasionalis Palestina. Fatah menolak solusi dua negara yang ditawarkan oleh PBB. Fatah menuntut hak kembali (right of return) bagi para pengungsi Palestina untuk kembali ke tanah air mereka. Fatah juga menyerukan perjuangan bersenjata melawan Israel untuk merebut kembali tanah Palestina secara keseluruhan.
Pada tahun 1964, dibentuklah Organisasi Pembebasan Palestina (Palestine Liberation Organization), yang merupakan wadah bagi berbagai kelompok perlawanan Palestina. PLO dipimpin oleh Ahmed Shukeiri, yang kemudian digantikan oleh Yahya Hammuda pada tahun 1967. PLO mendapat dukungan dari Liga Arab sebagai perwakilan resmi rakyat Palestina. PLO juga mendeklarasikan kembali berdirinya Negara Palestina pada tahun 1964, dengan wilayah yang sama dengan yang ditetapkan oleh PBB pada tahun 1947.
PLO dan Fatah, bersama dengan kelompok-kelompok perlawanan Palestina lainnya, seperti Gerakan Jihad Islam (Islamic Jihad Movement), Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina (Popular Front for the Liberation of Palestine), dan Hamas, melakukan berbagai aksi terorisme dan gerilya melawan Israel dan negara-negara Barat yang mendukungnya. Aksi-aksi ini meliputi pemboman, pembajakan, penembakan, dan penyanderaan. Aksi-aksi ini bertujuan untuk menarik perhatian dunia terhadap penderitaan rakyat Palestina dan menekan Israel untuk mundur dari tanah Palestina.
Periode 1967-1993: Perang Enam Hari dan Proses Damai

Periode ini dimulai sejak tahun 1967 hingga tahun 1993. Pada periode ini, terjadi peristiwa penting yang mempengaruhi konflik Palestina-Israel, yaitu:
Perang Enam Hari
Perang Enam Hari adalah perang singkat namun menentukan antara Israel dan negara-negara Arab, yaitu Mesir, Suriah, dan Yordania, pada tahun 1967. Perang ini dipicu oleh ketegangan yang meningkat antara Israel dan negara-negara Arab, yang disebabkan oleh berbagai faktor, seperti:
- Adanya ancaman dari Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser, yang ingin menghapuskan Israel dari peta dunia.
- Adanya blokade oleh Mesir terhadap Selat Tiran, yang merupakan jalur penting bagi perdagangan Israel.
- Adanya serangan-serangan oleh kelompok-kelompok perlawanan Palestina dari wilayah-wilayah Arab terhadap Israel.
- Adanya dukungan dari Uni Soviet kepada negara-negara Arab dalam hal persenjataan dan bantuan militer.

Perang ini dimulai pada tanggal 5 Juni 1967, ketika Israel melancarkan serangan udara mendadak terhadap pangkalan-pangkalan udara Mesir, Suriah, dan Yordania. Serangan ini berhasil menghancurkan sebagian besar pesawat-pesawat tempur negara-negara Arab sebelum mereka bisa lepas landas. Serangan ini juga memberikan keunggulan udara bagi Israel.
Setelah menguasai udara, Israel melanjutkan serangan daratnya terhadap wilayah-wilayah Arab. Dalam waktu enam hari saja, Israel berhasil merebut wilayah-wilayah berikut:
- Semenanjung Sinai dan Jalur Gaza dari Mesir.
- Dataran Tinggi Golan dari Suriah.
- Tepi Barat dan Yerusalem Timur dari Yordania.
Perang ini berakhir pada tanggal 10 Juni 1967, dengan kemenangan mutlak Israel. Israel berhasil menggandakan luas wilayahnya dengan merebut wilayah-wilayah Arab yang strategis dan bersejarah. Israel juga berhasil menguasai Yerusalem secara keseluruhan, termasuk Tembok Ratapan (Western Wall) dan Bukit Bait Suci (Temple Mount), yang merupakan tempat-tempat suci bagi Yahudi.
Perang ini menyebabkan kekalahan telak dan malu besar bagi negara-negara Arab, yang tidak mampu mengimbangi kekuatan militer Israel. Perang ini juga menyebabkan nasib buruk bagi rakyat Palestina, yang kembali kehilangan tanah mereka. Sekitar 300 ribu orang Palestina menjadi pengungsi akibat perang ini.
Baca juga: AS Kirim Kapal Induk ke Mediterania Timur untuk Bantu Israel Hadapi Hamas
Perang ini diakhiri dengan ditandatanganinya Perjanjian Gencatan Senjata antara Israel dan negara-negara Arab pada bulan Agustus 1967. Perjanjian ini didasarkan pada Resolusi 242 dari Dewan Keamanan PBB, yang menyerukan penarikan mundur Israel dari wilayah-wilayah yang diduduki selama perang, pengakuan atas kedaulatan setiap negara di kawasan tersebut, dan penyelesaian masalah pengungsi Palestina secara damai.
Namun, perjanjian ini tidak berhasil mengakhiri konflik Palestina-Israel. Sebab, perjanjian ini tidak menyelesaikan masalah pokok konflik Palestina-Israel, yaitu status akhir wilayah-wilayah yang diduduki Israel, hak kembali pengungsi Palestina, dan status Yerusalem. Israel dan negara-negara Arab memiliki penafsiran yang berbeda terhadap Resolusi 242. Israel menganggap bahwa penarikan mundurnya harus bersyarat dan tidak harus dari semua wilayah yang diduduki. Israel juga mengklaim bahwa Yerusalem adalah ibu kota abadi dan tidak terbagi bagi Israel. Sementara itu, negara-negara Arab menganggap bahwa penarikan mundur Israel harus tanpa syarat dan dari semua wilayah yang diduduki. Negara-negara Arab juga menuntut agar Yerusalem menjadi ibu kota bagi negara Palestina.
Perang Yom Kippur
Perang Yom Kippur adalah perang yang terjadi antara Israel dan negara-negara Arab, yaitu Mesir dan Suriah, pada tahun 1973. Perang ini dipicu oleh keinginan negara-negara Arab untuk membalas dendam atas kekalahan mereka dalam Perang Enam Hari dan merebut kembali wilayah-wilayah yang hilang. Perang ini juga didorong oleh dukungan Uni Soviet kepada negara-negara Arab dalam hal persenjataan dan bantuan militer.
Perang ini dimulai pada tanggal 6 Oktober 1973, ketika Mesir dan Suriah melancarkan serangan mendadak terhadap Israel pada hari Yom Kippur, yaitu hari raya agama Yahudi yang paling suci. Serangan ini berhasil mengejutkan dan menembus pertahanan Israel di Sinai dan Golan. Serangan ini juga mendapat dukungan dari negara-negara Arab lainnya, seperti Irak, Libya, dan Yordania.
Namun, setelah beberapa hari, Israel berhasil membalikkan keadaan dengan bantuan Amerika Serikat, yang merupakan sekutu utama Israel. Israel berhasil menghentikan serangan Mesir dan Suriah dan bahkan melancarkan serangan balasan ke wilayah-wilayah mereka. Israel berhasil mengepung pasukan Mesir di Sinai dan mendekati ibu kota Suriah, Damaskus.
Perang ini berakhir pada tanggal 25 Oktober 1973, dengan gencatan senjata yang ditengahi oleh PBB. Perang ini berakhir dengan hasil yang tidak jelas. Di satu sisi, Israel berhasil mempertahankan wilayah-wilayahnya dan menunjukkan kekuatan militernya. Di sisi lain, Mesir dan Suriah berhasil merebut sebagian wilayah mereka yang diduduki Israel dan menunjukkan kemampuan perlawanan mereka.
Perang ini menyebabkan korban jiwa yang banyak di kedua belah pihak, sekitar 20 ribu orang tewas atau terluka. Perang ini juga menyebabkan krisis minyak dunia, karena negara-negara Arab menghentikan pasokan minyak kepada negara-negara Barat yang mendukung Israel. Perang ini juga menyebabkan perubahan sikap politik di kawasan tersebut.
Proses Damai
Perang Yom Kippur membuka peluang bagi proses damai antara Israel dan negara-negara Arab. Proses damai ini dimulai dengan inisiatif Presiden Amerika Serikat saat itu, Jimmy Carter, yang mengundang Presiden Mesir Anwar Sadat dan Perdana Menteri Israel Menachem Begin untuk bertemu di Camp David, Maryland, pada tahun 1978.
Pertemuan ini menghasilkan dua perjanjian penting, yaitu:
- Perjanjian Kerangka Kerja untuk Perdamaian di Timur Tengah (Framework for Peace in the Middle East), yang merupakan rencana untuk menyelesaikan konflik Palestina-Israel dengan cara memberikan otonomi kepada rakyat Palestina di Gaza dan Tepi Barat dalam waktu lima tahun. Rencana ini juga menyerukan pembentukan komisi bersama antara Israel, Mesir, Yordania, dan perwakilan rakyat Palestina untuk menentukan status akhir wilayah-wilayah tersebut.
- Perjanjian Damai antara Mesir dan Israel (Peace Treaty between Egypt and Israel), yang merupakan perjanjian resmi untuk mengakhiri perang antara kedua negara. Perjanjian ini menetapkan bahwa Israel akan menarik mundur pasukan dan penduduknya dari Sinai dalam waktu tiga tahun. Perjanjian ini juga menetapkan bahwa Mesir akan mengakui Israel sebagai negara merdeka dan menjalin hubungan diplomatik dan ekonomi dengan Israel.
Perjanjian-perjanjian ini ditandatangani oleh Sadat dan Begin di Washington, D.C., pada tanggal 26 Maret 1979, dengan Carter sebagai saksi. Perjanjian-perjanjian ini merupakan terobosan besar dalam sejarah konflik Timur Tengah, karena merupakan perjanjian damai pertama antara Israel dan negara Arab. Perjanjian-perjanjian ini juga mendapat penghargaan Nobel Perdamaian bagi Sadat dan Begin pada tahun 1978.
Namun, perjanjian-perjanjian ini juga menimbulkan kontroversi dan penolakan dari berbagai pihak. Di Mesir, perjanjian-perjanjian ini dianggap sebagai pengkhianatan terhadap Palestina dan dunia Arab. Di Israel, perjanjian-perjanjian ini dianggap sebagai pengorbanan terhadap tanah dan keamanan Israel. Di Palestina, perjanjian-perjanjian ini dianggap sebagai pengabaian terhadap hak-hak mereka sebagai bangsa yang diduduki. Di dunia Arab, perjanjian-perjanjian ini dianggap sebagai pengkhianatan terhadap solidaritas Arab.
Akibatnya, Sadat dan Begin menghadapi banyak tantangan dan ancaman dari dalam dan luar negeri. Sadat dibunuh oleh kelompok ekstremis Islam pada tahun 1981. Begin mengundurkan diri dari jabatannya pada tahun 1983 karena depresi. PLO dan kelompok-kelompok perlawanan Palestina lainnya menolak untuk mengakui atau berpartisipasi dalam perjanjian-perjanjian ini. Negara-negara Arab lainnya memutuskan hubungan diplomatik dengan Mesir karena perjanjian-perjanjian ini.
Meskipun demikian, perjanjian-perjanjian ini tetap bertahan hingga saat ini. Perjanjian-perjanjian ini menjadi dasar bagi proses damai yang berlanjut antara Israel dan negara-negara Arab lainnya, seperti Yordania, Maroko, Bahrain, Uni Emirat Arab, Sudan, dan Oman. Perjanjian-perjanjian ini juga menjadi dasar bagi upaya-upaya perdamaian antara Israel dan Palestina, yang akan dibahas pada periode berikutnya.