Morteza, TikToker yang Menghina Agama Kristen Jadi Tersangka

Morteza, TikToker yang Menghina Agama Kristen Jadi Tersangka

FOKUS HUKUM – TikTok adalah salah satu platform media sosial yang populer di Indonesia. Banyak orang menggunakan aplikasi ini untuk membuat dan menonton video pendek yang menghibur, informatif, atau inspiratif. Namun, ada juga sebagian pengguna yang menyalahgunakan TikTok untuk menyebarkan konten negatif, seperti ujaran kebencian, penistaan agama, atau pornografi.

Salah satu kasus yang menarik perhatian publik adalah konten TikTok yang dibuat oleh seorang pria bernama Morteza. Dalam video yang diunggahnya, ia diduga menghina agama Kristen dengan menyebut salib sebagai tiang listrik yang harus dikembalikan ke PLN, dan Tuhan orang Kristen sebagai makmum Imam Mahdi. Video ini kemudian viral dan menuai banyak kecaman dari berbagai pihak.

Siapa sebenarnya Morteza? Apa motifnya membuat konten tersebut? Dan apa akibat hukum yang dihadapinya? Artikel ini akan membahas secara lengkap dan mendalam tentang kasus Morteza, TikToker yang menghina agama Kristen.

Profil Morteza

Morteza adalah nama akun TikTok milik Fikri Murtadha, seorang pria berusia 28 tahun asal Deli Serdang, Sumatera Utara. Ia merupakan seorang konten kreator yang aktif membuat video-video lucu, kocak, dan nyeleneh di TikTok. Akunnya memiliki lebih dari 300 ribu pengikut dan 2 juta suka.

Menurut keterangan polisi, Fikri adalah seorang lulusan SMA yang tidak memiliki pekerjaan tetap. Ia tinggal bersama ibunya di sebuah rumah kontrakan di Deli Serdang. Ia mengaku membuat konten TikTok sebagai hobi dan sumber penghasilan.

Fikri mengaku bahwa ia telah membuat akun TikTok sejak tahun 2019. Ia mengklaim bahwa ia tidak memiliki niat buruk untuk menyerang atau menistakan agama tertentu. Ia mengatakan bahwa konten-kontennya hanya sebatas guyonan dan hiburan semata.

Konten TikTok Morteza yang Menghina Agama Kristen

Pada tanggal 21 Oktober 2023, Fikri mengunggah sebuah video TikTok dengan durasi 59 detik di akunnya @bangmorteza. Dalam video tersebut, ia menyinggung soal kepercayaan umat Kristen Protestan dan Katolik terhadap salib dan Tuhan.

Berikut adalah transkrip video tersebut:

“Karena Tuhan yang kalian sembah itu, yang digantung, bagi umat Katolik dia digantung, kalau Protestan dia tidak digantung. Bagi kalian yang masih menyembah itu, tolong pulang nanti setelah kalian tobat. Tolong pulangkan nanti tiang itu nanti ke PLN. Biar ada untuk gantung travo sama kabel. Berubahlah gereja kalian itu jadi masjid.”

“Aku nanti kalau ada kesempatan bisa ngunjungin gereja, kubawa bluetooth speaker lah, nanti kuhidupkan lagunya itu pas masuk nanti kan, Shaun The Sheep. Kenapa kau putar lagu Shaun The Sheep di gereja? Kalian kan domba.”

“Tuhan kalian itu nanti akan jadi makmum Imam Mahdi. Tuhan kalian itu akan ikut salat di belakang Imam Mahdi.”

Video ini kemudian viral dan mendapat banyak reaksi negatif dari netizen, terutama dari umat Kristen. Banyak yang merasa tersinggung dan marah dengan ucapan Fikri yang dianggap menghina salib sebagai simbol agama Kristen, melecehkan Tuhan orang Kristen sebagai makhluk ciptaan Imam Mahdi, dan mengejek umat Kristen sebagai domba.

Beberapa netizen juga melaporkan video tersebut ke pihak berwajib dengan harapan agar Fikri ditindak sesuai hukum. Salah satu yang melaporkan adalah Permadi Arya, atau yang lebih dikenal sebagai Abu Janda. Ia adalah seorang aktivis media sosial yang kerap membela hak-hak minoritas dan menentang diskriminasi.

Abu Janda mengunggah ulang video Fikri di akun Instagramnya @permadiaktivis2 dan menulis caption sebagai berikut:

“Ini adalah video penistaan agama Kristen yang dilakukan oleh seorang TikToker bernama Morteza. Dia menghina salib, Tuhan, dan umat Kristen dengan kata-kata yang sangat kasar dan tidak pantas. Saya sudah melaporkan video ini ke Polri dan Kominfo agar segera ditindaklanjuti. Saya juga mengimbau kepada seluruh umat Kristen untuk tidak terpancing emosi dan melakukan aksi balasan. Biarkan hukum yang berbicara.”

Penangkapan dan Penetapan Tersangka Morteza

Menanggapi laporan dan protes dari masyarakat, Polrestabes Medan segera melakukan penyelidikan dan penangkapan terhadap Fikri. Ia ditangkap pada Sabtu, 21 Oktober 2023, sekitar pukul 10.00 WIB di rumah kontrakannya di Deli Serdang.

Kasat Reskrim Polrestabes Medan, Kompol Teuku Fathir Mustafa, mengatakan bahwa Fikri ditangkap atas dugaan kasus penistaan agama. Ia juga mengatakan bahwa Fikri telah mengakui perbuatannya dan meminta maaf kepada umat Kristen.

“Dia ditangkap pada Sabtu 21 Oktober 2023 sekira pukul 10.00 WIB. Ia diduga menista agama tertentu. Dia sudah mengakui dan minta maaf,” kata Kompol Teuku Fathir Mustafa.

Setelah menjalani pemeriksaan, Fikri kemudian ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan di Mapolrestabes Medan. Ia dijerat dengan Pasal 45 A ayat (2) jo Pasal 28 ayat (2) UU ITE jo Pasal 156 A KUHP tentang Penodaan Agama.

Pasal 45 A ayat (2) UU ITE berbunyi:

“Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar (satu miliar rupiah).”

Pasal 28 ayat (2) UU ITE berbunyi:

“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).”

Pasal 156 A KUHP berbunyi:

“Dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun dipidana barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:

a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;

b. dengan maksud agar orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Reaksi Masyarakat terhadap Kasus Morteza

Kasus Morteza menimbulkan berbagai reaksi dari masyarakat, terutama dari kalangan umat Kristen. Beberapa tokoh agama Kristen mengapresiasi langkah cepat polisi dalam menangani kasus ini. Mereka juga mengimbau kepada umat Kristen untuk tetap tenang dan tidak terprovokasi oleh konten-konten negatif seperti yang dibuat oleh Morteza.

Salah satu tokoh agama Kristen yang angkat bicara adalah Pdt. Dr. Henriette T.H. Lebang, Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI). Ia mengatakan bahwa kasus Morteza adalah bentuk dari intoleransi beragama yang harus dicegah dan ditindak tegas.

“Kami sangat menyayangkan adanya konten-konten seperti ini yang jelas-jelas menyerang keyakinan umat Kristen”.

Oleh karena itu, Fikri tidak dapat mengklaim bahwa ia memiliki hak berekspresi dan kebebasan berpendapat untuk membuat konten yang menistakan agama Kristen.

  • Hak mendapatkan perlindungan dari negara

Hak mendapatkan perlindungan dari negara adalah hak asasi manusia yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945 dan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya. Hak ini juga diakui oleh Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik.

Hak ini berarti bahwa negara berkewajiban untuk melindungi setiap warga negara dan penduduk dari segala bentuk ancaman, gangguan, atau pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh pihak lain. Hak ini juga berarti bahwa negara harus memberikan bantuan hukum, keadilan, dan ganti rugi kepada korban pelanggaran hak asasi manusia.

Dalam konteks kasus Morteza, kita dapat melihat bahwa negara telah berupaya untuk memberikan perlindungan kepada umat Kristen sebagai korban penistaan agama. Negara telah menindaklanjuti laporan dan protes dari masyarakat dengan cepat dan tegas. Negara juga telah menangkap dan menjerat Fikri dengan pasal-pasal yang sesuai dengan perbuatannya. Negara juga telah memberikan kesempatan kepada umat Kristen untuk menyampaikan saksi, bukti, atau pendapatnya di pengadilan.

Oleh karena itu, negara telah memenuhi kewajibannya untuk memberikan perlindungan kepada umat Kristen dari kasus penistaan agama yang dilakukan oleh Fikri.

Kesimpulan

Kasus Morteza adalah salah satu dari banyak kasus penistaan agama yang terjadi di Indonesia. Kasus ini menunjukkan bahwa media sosial dapat menjadi sarana untuk menyebarkan konten-konten negatif yang dapat menimbulkan konflik antarumat beragama.

Kasus ini juga menunjukkan bahwa penegakan hukum terhadap pelaku penistaan agama harus dilakukan dengan adil dan proporsional, sesuai dengan prinsip-prinsip hukum yang berlaku di Indonesia. Pelaku penistaan agama harus bertanggung jawab atas perbuatannya dan mendapatkan hukuman yang sesuai. Korban penistaan agama harus mendapatkan perlindungan dari negara dan mendapatkan keadilan.

Kasus ini juga menunjukkan bahwa hak berekspresi dan kebebasan berpendapat tidak bersifat absolut dan tanpa batas. Hak ini harus dilaksanakan dengan bertanggung jawab dan menghormati hak-hak orang lain. Hak ini juga harus tunduk pada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang, demi menjaga kepentingan umum, keamanan nasional, ketertiban publik, moralitas publik, atau hak-hak dan reputasi orang lain.

Kasus ini juga menunjukkan bahwa kita harus meningkatkan literasi digital dan etika bermedia sosial di kalangan masyarakat. Kita harus belajar untuk menggunakan media sosial dengan bijak, bertanggung jawab, dan menghormati perbedaan. Kita harus menjaga kerukunan antarumat beragama dan tidak mudah terpancing oleh provokasi-provokasi yang merusak persatuan bangsa.

FAQ

Berikut adalah beberapa pertanyaan yang sering diajukan terkait dengan kasus Morteza:

Apa itu TikTok?

TikTok adalah sebuah aplikasi media sosial yang memungkinkan pengguna untuk membuat dan menonton video pendek yang menghibur, informatif, atau inspiratif. TikTok memiliki fitur-fitur seperti filter, musik, stiker, efek, dan lain-lain yang dapat digunakan untuk mengedit video. TikTok juga memiliki fitur-fitur seperti duet, reaksi, komentar, suka, bagikan, dan lain-lain yang dapat digunakan untuk berinteraksi dengan video lainnya.

Siapa itu Imam Mahdi?

Imam Mahdi adalah seorang tokoh dalam ajaran Islam Syiah yang diyakini sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW yang akan muncul di akhir zaman untuk membawa keadilan dan kedamaian di dunia. Imam Mahdi juga disebut sebagai Al-Mahdi Al-Muntadhar (Mahdi yang dinanti-nanti) atau Al-Qaim (orang yang bangkit).

Apa itu Shaun The Sheep?

Shaun The Sheep adalah sebuah serial animasi stop-motion yang diproduksi oleh Aardman Animations. Serial ini menceritakan tentang petualangan Shaun, seekor domba cerdas dan kreatif, dan teman-temannya di sebuah peternakan. Serial ini memiliki banyak penggemar di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.

Apa itu PLN?

PLN adalah singkatan dari Perusahaan Listrik Negara, yaitu sebuah perusahaan BUMN yang bergerak di bidang kelistrikan di Indonesia. PLN bertanggung jawab untuk menyediakan, mengelola, dan mendistribusikan listrik ke seluruh wilayah Indonesia.

Apa itu KWI?

KWI adalah singkatan dari Konferensi Waligereja Indonesia, yaitu sebuah organisasi yang mewadahi para uskup Katolik di Indonesia. KWI bertujuan untuk memajukan kehidupan Gereja Katolik di Indonesia, baik dalam bidang pastoral, sosial, pendidikan, kesehatan, maupun lainnya.