PolitikPsikologiSuara Pembaca

Menyingkap Wajah Ganda Pendidikan di Panggung Politik

×

Menyingkap Wajah Ganda Pendidikan di Panggung Politik

Sebarkan artikel ini
Jokowi Telah Tiba di Moskow, Segera Bertemu Putin

Pendidikan dan politik adalah dua bidang yang memiliki hubungan kompleks dan saling memengaruhi satu sama lain. Sejak awal, pendidikan telah menjadi salah satu instrumen utama dalam membentuk karakter dan wawasan warga negara, sementara politik berperan dalam mengatur jalannya sistem pendidikan itu sendiri. Namun, di tengah perkembangan zaman, muncul pertanyaan yang semakin mengemuka: apakah pendidikan masih murni menjadi sarana mencerdaskan bangsa, ataukah telah berubah menjadi alat politik yang sarat dengan kepentingan tersembunyi? Inilah yang memunculkan dilema besar: apakah pendidikan dalam konteks politik saat ini lebih berperan sebagai jawara yang memajukan masyarakat, atau justru menjadi sandiwara yang dimainkan demi kepentingan kekuasaan?

Pendidikan dalam mata politik tidak lagi hanya sekadar proses pengajaran di ruang kelas, melainkan juga bagian dari strategi politik yang digunakan untuk mengarahkan masyarakat sesuai dengan agenda tertentu. Politik pendidikan, yang mencakup segala kebijakan, pendekatan, dan praktik dalam sistem pendidikan, menjadi salah satu kunci untuk memahami dinamika ini. Ketika kita berbicara tentang pendidikan, tidak hanya membahas tentang sekolah, guru, atau kurikulum, tetapi juga tentang bagaimana kekuatan politik menentukan arah dan tujuan pendidikan.

Di tengah persaingan global yang semakin ketat, pendidikan seharusnya menjadi jawara dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan peradaban. Namun, realitas politik sering kali memanfaatkan pendidikan sebagai panggung sandiwara, di mana tujuan mulia pendidikan terkadang dikorbankan demi kepentingan segelintir orang. Seberapa besar pengaruh politik dalam dunia pendidikan, dan apakah kita bisa mengembalikan pendidikan ke jalur yang benar? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi penting untuk dijawab, mengingat masa depan bangsa sangat bergantung pada bagaimana pendidikan diarahkan.

Dengan memahami pendidikan dalam mata politik, kita akan melihat lebih jelas bagaimana interaksi antara pendidikan dan politik bisa menjadi pedang bermata dua—mampu menjadi jawara dalam memajukan bangsa atau justru menjadi sandiwara yang memperdaya rakyat. Mari kita telaah lebih dalam mengenai peran politik dalam pendidikan dan dampaknya terhadap tujuan utama pendidikan itu sendiri.

Politik dalam Pendidikan: Alat atau Tujuan?

Politik dan pendidikan adalah dua entitas yang sering kali berjalan beriringan, tetapi dengan tujuan yang bisa sangat berbeda. Politik sebagai kekuatan yang mengatur kehidupan bernegara memiliki pengaruh besar dalam menentukan arah kebijakan pendidikan. Namun, di tengah pengaruh ini, muncul pertanyaan mendasar: apakah politik dalam pendidikan berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu, atau justru menjadi tujuan itu sendiri?

Pada dasarnya, politik pendidikan melibatkan berbagai pemikiran, gagasan, dan pendekatan yang digunakan oleh pemerintah dan para pemangku kepentingan untuk menentukan bagaimana pendidikan harus dijalankan. Kebijakan pendidikan yang dihasilkan melalui proses politik ini dirancang untuk menciptakan warga negara yang kompeten, kritis, dan mampu berkontribusi bagi bangsa. Pendidikan dilihat sebagai sarana penting untuk sosialisasi politik—proses di mana nilai-nilai, norma, dan keyakinan yang mendukung stabilitas dan kemajuan suatu negara diajarkan kepada generasi muda.

Namun, tidak jarang pendidikan digunakan sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan atau mencapai agenda politik tertentu. Dalam beberapa kasus, politik pendidikan tidak hanya mengatur bagaimana pendidikan dijalankan, tetapi juga mengarahkan isi dari pendidikan itu sendiri, sesuai dengan kepentingan politik yang sedang berkuasa. Kurikulum misalnya, bisa diubah untuk mencerminkan ideologi tertentu, sementara materi pelajaran bisa diseleksi untuk memperkuat narasi yang diinginkan oleh penguasa.

Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa pendidikan bukan lagi murni untuk mencerdaskan bangsa, melainkan telah menjadi instrumen politik yang digunakan untuk mengendalikan pikiran dan perilaku masyarakat. Ketika politik lebih berfokus pada bagaimana pendidikan bisa digunakan untuk mencapai tujuan politik jangka pendek, maka pendidikan kehilangan esensi utamanya sebagai wadah pengembangan potensi individu.

Sebaliknya, dalam konteks yang lebih ideal, pendidikan seharusnya menjadi tujuan yang diperjuangkan oleh politik. Kebijakan pendidikan yang baik adalah kebijakan yang menjadikan pendidikan sebagai prioritas utama, dengan tujuan menciptakan masyarakat yang cerdas, kreatif, dan mandiri. Di sini, politik berperan sebagai fasilitator, yang menyediakan sumber daya, kebijakan, dan dukungan yang dibutuhkan untuk memastikan bahwa pendidikan dapat berjalan dengan baik dan mencapai tujuannya.

Jadi, apakah politik dalam pendidikan lebih berfungsi sebagai alat atau tujuan? Jawabannya tergantung pada bagaimana kita melihat hubungan antara kedua bidang ini. Jika politik hanya melihat pendidikan sebagai alat untuk mencapai kekuasaan, maka pendidikan akan menjadi korban dari kepentingan sempit. Namun, jika politik benar-benar memperjuangkan pendidikan sebagai tujuan yang mulia, maka pendidikan akan menjadi jawara dalam membangun bangsa yang kuat dan bermartabat.

Dalam konteks ini, penting bagi kita untuk terus mengawasi dan mengevaluasi bagaimana politik dalam pendidikan dijalankan, agar pendidikan tidak kehilangan arah dan tetap berada di jalur yang benar, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan peradaban manusia.

Fungsi dan Tujuan Sekolah: Harapan atau Realitas?

Sekolah selalu dianggap sebagai pilar utama dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam benak banyak orang, sekolah adalah tempat di mana anak-anak belajar, berkembang, dan dipersiapkan untuk menghadapi tantangan dunia. Namun, ketika kita membandingkan harapan ideal dengan kenyataan yang ada, muncul pertanyaan yang mendalam: apakah fungsi dan tujuan sekolah telah tercapai sesuai dengan ekspektasi, atau justru menjadi ilusi yang jauh dari realitas?

Menurut Wayne (2000:37), sekolah adalah sistem interaksi sosial dalam sebuah organisasi, di mana terjadi hubungan organik antara individu-individu di dalamnya. Artinya, sekolah bukan hanya tempat untuk mentransfer pengetahuan, tetapi juga wadah bagi interaksi sosial yang membentuk karakter dan kepribadian siswa. Sekolah seharusnya menjadi ruang di mana siswa tidak hanya belajar membaca, menulis, dan berhitung, tetapi juga mengasah kemampuan sosial, etika, dan moral yang dibutuhkan untuk menjadi anggota masyarakat yang baik.

Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 menjelaskan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar yang memungkinkan peserta didik mengembangkan potensi diri mereka secara maksimal. Ini berarti, sekolah diharapkan mampu menciptakan lingkungan yang mendukung siswa dalam mencapai kekuatan spiritual, kepribadian yang tangguh, kecerdasan intelektual, dan keterampilan praktis yang berguna bagi mereka, masyarakat, bangsa, dan negara.

Namun, jika kita melihat kondisi pendidikan saat ini, ada banyak tantangan yang menghambat tercapainya fungsi dan tujuan sekolah yang ideal. Salah satu tantangan terbesar adalah ketimpangan dalam kualitas pendidikan. Sekolah-sekolah di daerah perkotaan sering kali memiliki fasilitas yang jauh lebih baik dibandingkan dengan sekolah di daerah pedesaan atau terpencil. Akibatnya, siswa di daerah-daerah ini tidak mendapatkan kesempatan yang sama untuk berkembang.

Selain itu, tekanan untuk mengikuti standar akademik yang tinggi sering kali membuat sekolah lebih fokus pada hasil ujian daripada pada proses pembelajaran itu sendiri. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat untuk mengeksplorasi minat dan bakat, sering kali berubah menjadi tempat di mana siswa hanya diajarkan untuk menghafal informasi demi mendapatkan nilai tinggi. Ini menggeser fokus dari pengembangan karakter dan kreativitas menuju pada pencapaian angka-angka di atas kertas.

Harapan bahwa sekolah dapat menjadi tempat di mana siswa mencari jati diri dan mengembangkan potensi individu sering kali tidak sejalan dengan kenyataan yang ada. Dalam banyak kasus, sekolah justru menjadi arena kompetisi yang ketat, di mana siswa yang tidak mampu mengikuti ritme cepat pembelajaran sering kali tertinggal dan kehilangan kepercayaan diri.

Namun, di balik semua tantangan ini, masih ada sekolah-sekolah yang berjuang untuk tetap mempertahankan fungsi dan tujuan pendidikan yang sejati. Sekolah-sekolah ini berusaha untuk tidak hanya mengejar prestasi akademik, tetapi juga memberikan ruang bagi siswa untuk berkembang secara holistik. Mereka mengakui bahwa pendidikan adalah lebih dari sekadar mendapatkan nilai tinggi—itu adalah tentang mempersiapkan siswa untuk menjadi individu yang mandiri, kreatif, dan bertanggung jawab dalam kehidupan.

Maka, apakah fungsi dan tujuan sekolah saat ini lebih merupakan harapan atau realitas? Jawabannya mungkin terletak di antara keduanya. Ada banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk menjembatani kesenjangan antara harapan dan kenyataan, tetapi dengan komitmen dari semua pihak—pendidik, pemerintah, dan masyarakat—sekolah dapat menjadi jawara dalam mencerdaskan bangsa, bukan sekadar sandiwara yang kehilangan arah.

Dengan terus berusaha untuk memperbaiki sistem pendidikan kita, kita bisa mendekatkan realitas yang ada dengan harapan ideal, sehingga setiap anak di negeri ini mendapatkan kesempatan yang adil untuk mencapai potensi penuh mereka.

Bisnis Pendidikan: Ijazah sebagai Alat Politik

Dalam dunia ideal, ijazah adalah simbol pencapaian akademik yang diperoleh melalui kerja keras, dedikasi, dan pembelajaran yang mendalam. Namun, realitas sering kali berbeda jauh dari harapan tersebut. Bisnis pendidikan, terutama dalam konteks politik, telah mengubah makna ijazah menjadi sesuatu yang jauh lebih kompleks dan problematis. Pertanyaannya, apakah ijazah saat ini masih menjadi bukti legitimasi pengetahuan dan keterampilan, ataukah telah berubah menjadi alat politik yang dimanfaatkan oleh mereka yang ingin mencapai kekuasaan?

Ijazah, pada dasarnya, adalah dokumen yang menandakan bahwa seseorang telah menyelesaikan program pendidikan tertentu dan memiliki kualifikasi yang dibutuhkan untuk melanjutkan ke jenjang berikutnya, baik itu di dunia kerja maupun di pendidikan yang lebih tinggi. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, fenomena bisnis pendidikan telah mengaburkan tujuan asli dari ijazah ini. Lembaga pendidikan yang seharusnya menjadi tempat bagi individu untuk belajar dan berkembang justru terlibat dalam praktik yang tidak etis, seperti memperjualbelikan ijazah atau memberikan ijazah kepada mereka yang tidak layak mendapatkannya melalui jalur normal.

Politikus dan tokoh-tokoh yang memiliki kekuasaan sering kali menjadi aktor utama dalam praktik ini. Dalam beberapa kasus, ijazah digunakan sebagai syarat formal untuk menduduki jabatan penting di pemerintahan atau lembaga negara lainnya. PNS atau bahkan posisi politikus sering kali membutuhkan ijazah sebagai salah satu persyaratan utama. Di sinilah masalahnya: ketika proses mendapatkan ijazah tersebut tidak transparan dan diwarnai oleh praktik korupsi seperti menyogok atau memalsukan nilai, ijazah kehilangan nilainya sebagai bukti kualifikasi dan berubah menjadi sekadar kertas penting yang bisa dibeli oleh siapa saja yang memiliki cukup uang.

Bisnis pendidikan seperti ini tidak hanya merusak kredibilitas institusi pendidikan tetapi juga merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem pendidikan itu sendiri. Ketika ijazah bisa dibeli, masyarakat mulai mempertanyakan apakah mereka yang memegang posisi penting benar-benar layak atau hanya sekadar memiliki modal untuk mendapatkan kualifikasi secara instan. Ini berbahaya, karena memicu ketidakadilan dan ketidakpercayaan yang meluas, serta menurunkan standar pendidikan dan kompetensi di berbagai sektor.

Lebih dari itu, ketika ijazah dijadikan alat politik, pendidikan tidak lagi menjadi instrumen untuk memajukan bangsa, melainkan menjadi komoditas yang diperjualbelikan demi kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Hal ini memperkuat pandangan bahwa hanya mereka yang memiliki akses ke sumber daya tertentu yang bisa sukses, terlepas dari kemampuan atau kerja keras mereka. Ini menciptakan lingkaran setan di mana kesenjangan sosial dan ekonomi semakin lebar, dan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang adil dan merata semakin sulit dicapai.

Namun, tidak semua lembaga pendidikan terlibat dalam praktik ini. Masih banyak sekolah dan universitas yang mempertahankan integritas mereka dan menolak untuk ikut serta dalam bisnis pendidikan semacam ini. Mereka berusaha keras untuk memastikan bahwa ijazah yang mereka keluarkan benar-benar mencerminkan pencapaian akademik yang layak dan diakui. Ini penting untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap pendidikan dan untuk memastikan bahwa sistem pendidikan tetap menjadi wadah pengembangan diri yang sejati.

Jadi, ketika kita berbicara tentang ijazah sebagai alat politik, kita harus menyadari bahwa masalah ini bukan hanya tentang pendidikan, tetapi juga tentang integritas dan keadilan dalam masyarakat. Jika kita ingin pendidikan kita menjadi jawara dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, kita harus mengatasi praktik-praktik korupsi dalam sistem pendidikan dan memastikan bahwa ijazah kembali menjadi simbol pencapaian akademik yang murni, bukan sekadar sandiwara dalam permainan politik.

Dengan langkah-langkah tegas untuk membersihkan sistem pendidikan dari bisnis ijazah dan praktik tidak etis lainnya, kita bisa mengembalikan makna sejati dari pendidikan dan ijazah, serta membangun kepercayaan yang lebih kuat terhadap institusi pendidikan di negara ini.

Memisahkan Pendidikan dari Politik: Mungkinkah?

Pendidikan dan politik memiliki hubungan yang sangat erat, saling mempengaruhi, dan sering kali sulit untuk dipisahkan. Namun, di tengah dinamika ini, muncul pertanyaan yang penting dan relevan: apakah mungkin untuk memisahkan pendidikan dari politik? Dalam konteks di mana politik pendidikan sering kali digunakan untuk mencapai tujuan tertentu oleh pihak-pihak yang berkuasa, gagasan untuk memisahkan kedua bidang ini menjadi semakin menarik, tetapi apakah itu benar-benar realistis?

Pada prinsipnya, pendidikan seharusnya menjadi proses yang independen, yang dirancang untuk memfasilitasi pengembangan potensi individu tanpa campur tangan kepentingan politik. Tujuan utama pendidikan adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, membentuk karakter yang kuat, dan membekali generasi muda dengan pengetahuan serta keterampilan yang diperlukan untuk menghadapi tantangan masa depan. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa politik sering kali masuk ke dalam ruang pendidikan, baik melalui kebijakan yang mengatur sistem pendidikan, kurikulum, atau bahkan melalui penunjukan pejabat-pejabat di lembaga pendidikan.

Politik dalam pendidikan tidak selalu berdampak negatif. Ada saat-saat di mana kebijakan politik bisa membantu memperbaiki kualitas pendidikan, menyediakan anggaran yang memadai, dan memastikan bahwa semua anak di seluruh negeri memiliki akses yang adil terhadap pendidikan. Undang-Undang dan peraturan pemerintah yang mengatur pendidikan adalah bentuk nyata dari bagaimana politik terlibat dalam pendidikan. Tanpa campur tangan politik, mungkin tidak akan ada aturan yang memastikan kesetaraan dalam pendidikan, termasuk pemerataan akses, peningkatan kualitas guru, dan penyediaan infrastruktur pendidikan.

Namun, masalah muncul ketika pendidikan dijadikan alat politik untuk mencapai tujuan-tujuan yang lebih bersifat pribadi atau kelompok tertentu. Misalnya, ketika kurikulum diubah untuk mencerminkan ideologi tertentu, atau ketika lembaga pendidikan digunakan untuk mendoktrin siswa sesuai dengan agenda politik yang berkuasa, maka pendidikan kehilangan esensinya sebagai sarana pengembangan kritis dan independen. Dalam kasus ini, politik tidak lagi berperan sebagai pelindung pendidikan, melainkan sebagai pihak yang memanfaatkan pendidikan demi kepentingan sendiri.

Ada banyak suara yang menginginkan pemisahan yang jelas antara pendidikan dan politik untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan dalam bidang pendidikan. Namun, tantangan terbesar dari gagasan ini adalah kenyataan bahwa pendidikan dan politik secara alami saling terkait. Pendidikan membutuhkan dukungan politik untuk berkembang, baik itu dalam bentuk anggaran, kebijakan, atau regulasi. Di sisi lain, politik memerlukan pendidikan untuk mencetak generasi pemimpin yang cerdas dan mampu menjaga keberlangsungan bangsa.

Jadi, apakah mungkin untuk benar-benar memisahkan pendidikan dari politik? Mungkin yang lebih realistis adalah mengupayakan pengelolaan pendidikan yang lebih transparan dan berintegritas, di mana keputusan-keputusan yang diambil dalam dunia pendidikan didasarkan pada kebutuhan nyata dan kepentingan terbaik siswa, bukan sekadar untuk melayani kepentingan politik tertentu. Ini bisa dilakukan melalui peningkatan partisipasi publik dalam pengambilan keputusan pendidikan, pengawasan yang lebih ketat terhadap kebijakan pendidikan, dan komitmen untuk menjaga pendidikan sebagai sektor yang bebas dari korupsi dan manipulasi politik.

Dengan kata lain, daripada mencoba untuk sepenuhnya memisahkan pendidikan dari politik, mungkin yang perlu dilakukan adalah mengelola hubungan antara keduanya dengan bijaksana. Pendidikan harus dipandang sebagai tujuan utama yang didukung oleh politik, bukan sebagai alat yang dimanipulasi oleh kekuasaan. Jika kita bisa mencapai keseimbangan ini, maka kita bisa memastikan bahwa pendidikan tetap menjadi jawara dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan sekadar sandiwara yang dimainkan dalam panggung politik.

FAQ: Memahami Hubungan Antara Pendidikan dan Politik

1. Apa yang dimaksud dengan politik pendidikan?

  • Politik pendidikan adalah proses di mana kebijakan, keputusan, dan peraturan terkait sistem pendidikan ditentukan oleh kekuatan politik. Ini mencakup pemikiran, pendekatan, dan strategi yang digunakan oleh pemerintah dan pemangku kepentingan untuk mengatur bagaimana pendidikan harus diselenggarakan.

2. Mengapa pendidikan sering kali terlibat dalam politik?

  • Pendidikan terlibat dalam politik karena merupakan salah satu pilar utama dalam pembangunan bangsa. Politik menentukan alokasi anggaran, pengaturan kurikulum, standar nasional, dan penunjukan pejabat pendidikan, yang semuanya berdampak pada bagaimana pendidikan dijalankan.

3. Apa dampak negatif dari politik dalam pendidikan?

  • Ketika politik terlalu mendominasi pendidikan, ada risiko bahwa pendidikan bisa dimanfaatkan untuk kepentingan politik sempit. Misalnya, kurikulum bisa diubah untuk mencerminkan ideologi tertentu, dan praktik seperti jual beli ijazah bisa merusak kredibilitas pendidikan.

4. Bisakah pendidikan sepenuhnya dipisahkan dari politik?

  • Secara teori, banyak yang berharap pendidikan bisa dipisahkan dari politik untuk mencegah penyalahgunaan. Namun, dalam praktiknya, politik dan pendidikan saling terkait erat. Yang bisa dilakukan adalah memastikan bahwa hubungan ini dikelola dengan baik agar pendidikan tidak disalahgunakan.

5. Bagaimana cara mengatasi masalah bisnis ijazah dalam dunia pendidikan?

  • Mengatasi bisnis ijazah memerlukan tindakan tegas dari pemerintah dan lembaga pendidikan. Ini bisa dilakukan melalui pengawasan yang lebih ketat, penegakan hukum terhadap pelaku, dan peningkatan transparansi dalam proses pendidikan dan evaluasi.

6. Apakah semua politik dalam pendidikan berdampak negatif?

  • Tidak semua pengaruh politik dalam pendidikan berdampak negatif. Beberapa kebijakan politik telah berhasil meningkatkan kualitas pendidikan, memperluas akses, dan memastikan kesetaraan. Masalah muncul ketika politik digunakan untuk tujuan yang tidak adil atau korup.

7. Apa tujuan utama dari pendidikan menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2003?

  • Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 menyatakan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan juga bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, sehat, cerdas, kreatif, dan mandiri.

8. Mengapa ada yang menginginkan pemisahan pendidikan dari politik?

  • Banyak yang menginginkan pemisahan ini untuk memastikan bahwa pendidikan tetap independen dan tidak dimanipulasi untuk kepentingan politik. Tujuannya adalah agar pendidikan dapat benar-benar fokus pada pengembangan individu dan mencerdaskan bangsa tanpa campur tangan yang merugikan.

9. Apa yang bisa dilakukan masyarakat untuk menjaga integritas pendidikan?

  • Masyarakat dapat berperan dengan memantau kebijakan pendidikan, terlibat dalam diskusi publik tentang arah pendidikan, serta mendukung inisiatif yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan integritas pendidikan. Partisipasi aktif dari masyarakat dapat membantu menjaga pendidikan dari pengaruh politik yang merusak.

10. Apakah ada contoh positif dari hubungan politik dan pendidikan?

  • Ya, ada. Misalnya, kebijakan yang mendukung anggaran pendidikan yang lebih besar atau program beasiswa nasional yang didorong oleh kebijakan politik dapat memperluas akses pendidikan bagi semua lapisan masyarakat dan meningkatkan kualitas pendidikan secara keseluruhan.

Kesimpulan: Pendidikan, Jawara atau Sandiwara?

Dalam konteks yang ideal, pendidikan seharusnya menjadi jawara yang mencerdaskan kehidupan bangsa, membentuk karakter individu yang kuat, dan mempersiapkan generasi mendatang untuk menghadapi tantangan global. Pendidikan adalah alat yang dirancang untuk memberdayakan setiap individu, memberikan mereka kesempatan untuk mengembangkan potensi dan mencapai impian mereka. Dalam skenario ini, pendidikan berperan sebagai pilar yang kokoh dalam pembangunan bangsa.

Namun, kenyataan sering kali menunjukkan sisi lain yang lebih suram. Pendidikan terkadang berubah menjadi sandiwara ketika dijadikan alat politik untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang tidak selalu sejalan dengan kepentingan masyarakat luas. Fenomena seperti bisnis ijazah, campur tangan politik dalam penentuan kurikulum, dan penggunaan pendidikan sebagai alat propaganda menodai kemurnian pendidikan sebagai sarana pengembangan diri.

Apakah pendidikan lebih sering menjadi jawara atau sandiwara? Jawabannya tergantung pada bagaimana kita, sebagai masyarakat, pemerintah, dan pemangku kepentingan, memilih untuk memperlakukan dan mengelola pendidikan. Jika kita mampu menjaga integritas sistem pendidikan, memastikan transparansi, dan menempatkan kepentingan siswa di atas segalanya, maka pendidikan akan terus menjadi jawara yang kita butuhkan. Sebaliknya, jika kita membiarkan politik dan kepentingan sempit mendominasi, pendidikan akan kehilangan maknanya dan menjadi sekadar sandiwara di panggung kekuasaan.

Pada akhirnya, pendidikan adalah cermin dari nilai-nilai dan prioritas kita sebagai bangsa. Jika kita menginginkan pendidikan yang benar-benar memajukan, kita harus berkomitmen untuk memperjuangkan sistem pendidikan yang adil, transparan, dan bebas dari manipulasi politik. Hanya dengan demikian, pendidikan dapat kembali menjadi jawara sejati dalam membangun peradaban yang bermartabat dan berkelanjutan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *