Sejarah Rohingya: Dari Kerajaan Islam hingga Genosida di Myanmar

Sejarah Rohingya: Dari Kerajaan Islam hingga Genosida di Myanmar

FOKUS SEJARAH – Rohingya adalah salah satu etnis minoritas di Myanmar yang mengalami diskriminasi dan penganiayaan. Mereka adalah keturunan pedagang dan tentara Arab, Turki, atau Mongol yang bermigrasi ke wilayah Rakhine (dulu disebut Arakan) sejak abad ke-15. Namun, pemerintah Myanmar tidak mengakui mereka sebagai warga negara dan menyebut mereka sebagai imigran ilegal dari Bangladesh. Berikut adalah sejarah singkat Rohingya dari masa lalu hingga kini.

Kerajaan Islam di Arakan

Pada abad ke-14, Raja Narameikhla atau Min Saw Mun dari Kerajaan Mrauk U di Arakan meminta bantuan Sultan Bengal untuk merebut kembali takhtanya yang direbut oleh Burma. Sultan Bengal yang bernama Nasirudin menolongnya dengan mengirimkan pasukan dan kapal. Setelah berhasil menguasai Arakan, Narameikhla mengucapkan syahadat dan berganti nama menjadi Suleiman Shah. Ia juga membawa orang-orang Bengali untuk membantu administrasi pemerintahannya. Mereka inilah yang menjadi cikal bakal komunitas Muslim pertama di Arakan.

Kerajaan Islam di Arakan berlangsung selama sekitar 350 tahun, dari tahun 1430 hingga 1784. Selama itu, terjadi pergantian beberapa raja yang beragama Islam. Mereka membangun masjid, madrasah, dan makam-makam Islam. Mereka juga menggunakan bahasa Arab, Persia, dan Urdu dalam administrasi dan sastra. Mereka menjalin hubungan baik dengan negara-negara Islam lainnya, seperti Kesultanan Aceh, Kesultanan Melayu, Kesultanan Ottoman, dan lain-lain.

Penjajahan Burma dan Inggris

Pada tahun 1784, Raja Bodawpaya dari Burma menyerang dan menaklukkan Arakan. Ia membawa puluhan ribu orang Arakan, termasuk Muslim, ke Burma sebagai tawanan perang. Banyak Muslim yang melarikan diri ke wilayah yang sekarang menjadi Bangladesh. Mereka yang tinggal di Arakan mengalami penindasan dan diskriminasi dari penguasa Burma.

Pada tahun 1824, Inggris menginvasi Burma dan menjadikannya sebagai koloni. Inggris membagi Burma menjadi dua provinsi, yaitu Burma Hulu dan Burma Hilir. Arakan termasuk dalam Burma Hilir, yang berbatasan dengan India yang juga dikuasai Inggris. Inggris membawa banyak pekerja dari India, termasuk Muslim, untuk bekerja di perkebunan, perkeretaapian, dan pemerintahan di Burma. Hal ini menimbulkan ketegangan antara penduduk asli Burma, termasuk Muslim Arakan, dengan pendatang baru dari India.

Pada tahun 1937, Inggris memisahkan Burma dari India dan memberikan status dominion kepada Burma. Namun, banyak Muslim Arakan yang merasa lebih dekat dengan India daripada dengan Burma. Mereka meminta agar Arakan disatukan dengan India atau diberikan otonomi khusus. Namun, permintaan mereka ditolak oleh Inggris dan Burma.

Kemerdekaan Myanmar dan Konflik Etnis

Pada tahun 1942, Jepang menginvasi Burma dan mengusir Inggris. Namun, banyak Muslim Arakan yang tetap setia kepada Inggris dan membentuk pasukan gerilya untuk melawan Jepang. Hal ini menyebabkan bentrokan antara Muslim Arakan dengan etnis Rakhine yang beragama Buddha dan mendukung Jepang. Ribuan orang tewas dan banyak desa yang hancur akibat pertempuran ini.

Pada tahun 1948, Burma merdeka dari Inggris dan menjadi Republik Persatuan Burma. Namun, pemerintah pusat tidak mampu mengendalikan berbagai kelompok etnis yang menuntut otonomi atau kemerdekaan. Salah satunya adalah Muslim Arakan, yang menyebut diri mereka sebagai Rohingya. Mereka mendirikan Mujahidin Arakan, sebuah gerakan bersenjata yang bertujuan untuk mendirikan negara Islam di Arakan. Namun, gerakan ini berhasil dipadamkan oleh militer Burma pada tahun 1961.

Pada tahun 1962, Jenderal Ne Win melakukan kudeta militer dan mengubah nama negara menjadi Myanmar. Ia juga menerapkan kebijakan nasionalis dan sosialis yang menekan hak-hak kelompok etnis minoritas, termasuk Rohingya. Pada tahun 1982, pemerintah Myanmar mengeluarkan undang-undang kewarganegaraan yang hanya mengakui 135 kelompok etnis sebagai warga negara. Rohingya tidak termasuk dalam daftar ini, sehingga mereka menjadi apatride atau tanpa kewarganegaraan. Mereka juga dibatasi dalam hal pendidikan, pekerjaan, perjalanan, dan hak-hak sipil lainnya.

Kekerasan dan Pengungsian Massal

Pada tahun 2012, terjadi kerusuhan antara etnis Rakhine dan Rohingya di Rakhine. Kerusuhan ini dipicu oleh kasus pemerkosaan dan pembunuhan seorang wanita Buddha oleh tiga pria Muslim. Akibatnya, ratusan orang tewas dan puluhan ribu orang mengungsi. Pemerintah Myanmar menempatkan banyak Rohingya di kamp-kamp pengungsian yang tidak layak. Mereka juga mengirim pasukan keamanan untuk menjaga ketertiban, tetapi banyak yang dituduh melakukan pelanggaran hak asasi manusia terhadap Rohingya.

Pada tahun 2015, terjadi krisis migran di Asia Tenggara, ketika ribuan Rohingya mencoba melarikan diri dari Myanmar dengan menggunakan perahu-perahu kecil. Mereka berharap dapat mencari perlindungan di negara-negara tetangga, seperti Malaysia, Indonesia, dan Thailand. Namun, banyak negara yang menolak untuk menerima mereka atau memberikan bantuan kemanusiaan. Banyak Rohingya yang meninggal karena kelaparan, dehidrasi, atau penyakit di laut.

Pada tahun 2016, sebuah kelompok bersenjata yang menyebut diri sebagai Tentara Pembebasan Rohingya Arakan (ARSA) melakukan serangan terhadap pos-pos polisi dan militer di Rakhine. Serangan ini menewaskan puluhan anggota keamanan Myanmar. Sebagai balasannya, militer Myanmar melancarkan operasi berskala besar untuk membasmi ARSA. Namun, operasi ini juga menargetkan warga sipil Rohingya yang tidak bersalah. Militer Myanmar dituduh melakukan pembunuhan, pemerkosaan, pembakaran, dan pembersihan etnis terhadap Rohingya.

Akibat operasi militer ini, lebih dari 700.000 Rohingya melarikan diri ke Bangladesh, yang berbatasan dengan Rakhine. Mereka tinggal di kamp-kamp pengungsian yang padat dan miskin. Mereka juga menghadapi ancaman bencana alam, penyakit, dan kekerasan. Pemerintah Myanmar dan Bangladesh telah mencoba untuk membuat kesepakatan repatriasi, tetapi banyak Rohingya yang menolak untuk kembali ke Myanmar tanpa jaminan keamanan dan kewarganegaraan.

Upaya Kemanusiaan, Diplomasi, dan Advokasi

Krisis Rohingya telah menarik perhatian dan simpati dari banyak pihak, baik di tingkat lokal, regional, maupun internasional. Berbagai organisasi kemanusiaan, negara-negara, lembaga-lembaga, dan tokoh-tokoh telah berusaha untuk memberikan bantuan, dukungan, dan solusi bagi Rohingya.

Di tingkat lokal, banyak masyarakat sipil, kelompok agama, dan aktivis yang bergerak untuk membantu Rohingya. Mereka memberikan bantuan makanan, pakaian, obat-obatan, pendidikan, dan perlindungan kepada Rohingya yang tinggal di kamp-kamp pengungsian atau komunitas-komunitas lokal. Mereka juga melakukan advokasi dan kampanye untuk menuntut hak-hak dan keadilan bagi Rohingya. Contohnya adalah organisasi-organisasi seperti Rohingya Human Rights Network, Rohingya Vision, Rohingya Blogger, dan lain-lain.

Di tingkat regional, banyak negara-negara dan organisasi-organisasi yang terlibat dalam diplomasi dan mediasi untuk menyelesaikan krisis Rohingya. Mereka berusaha untuk mendorong dialog dan kerjasama antara Myanmar dan Bangladesh, serta antara Myanmar dan kelompok-kelompok etnis lainnya. Mereka juga berusaha untuk mengatasi masalah-masalah seperti perdagangan manusia, penyelundupan, dan keamanan maritim yang berkaitan dengan Rohingya. Contohnya adalah negara-negara seperti Indonesia, Malaysia, Thailand, dan organisasi-organisasi seperti ASEAN, OIC, dan UNHCR.

Di tingkat internasional, banyak negara-negara dan organisasi-organisasi yang mengecam dan menekan Myanmar atas pelanggaran hak asasi manusia terhadap Rohingya. Mereka juga memberikan bantuan kemanusiaan dan pembangunan kepada Rohingya yang mengungsi ke negara-negara lain. Mereka juga mendukung proses hukum dan akuntabilitas terhadap pelaku-pelaku kejahatan terhadap Rohingya. Contohnya adalah negara-negara seperti Amerika Serikat, Inggris, Kanada, dan organisasi-organisasi seperti PBB, Uni Eropa, Amnesty International, dan Human Rights Watch.

Saran dan Rekomendasi

Krisis Rohingya adalah salah satu krisis kemanusiaan dan hak asasi manusia terbesar dan terparah di dunia saat ini. Namun, masih banyak orang yang tidak mengetahui atau tidak peduli dengan nasib Rohingya. Oleh karena itu, saya memiliki beberapa saran dan rekomendasi untuk meningkatkan kesadaran dan solidaritas terhadap Rohingya.

  • Pertama, kita harus mengedukasi diri kita sendiri dan orang lain tentang sejarah, budaya, dan identitas Rohingya. Kita harus mempelajari fakta-fakta dan data-data yang akurat dan objektif tentang Rohingya, serta menghindari informasi yang salah atau bias. Kita juga harus menghormati dan mengakui hak-hak dan martabat Rohingya sebagai manusia dan sebagai warga negara.
  • Kedua, kita harus berpartisipasi dalam aksi-aksi kemanusiaan, diplomasi, dan advokasi yang mendukung Rohingya. Kita dapat memberikan sumbangan, donasi, atau sukarela kepada organisasi-organisasi yang membantu Rohingya. Kita juga dapat menandatangani petisi, surat terbuka, atau resolusi yang menuntut Myanmar untuk menghentikan kekerasan dan diskriminasi terhadap Rohingya. Kita juga dapat bergabung dengan demonstrasi, seminar, atau diskusi yang mengangkat isu-isu tentang Rohingya.
  • Ketiga, kita harus bersikap kritis dan vokal terhadap pemerintah, media, dan masyarakat kita sendiri tentang sikap dan tanggung jawab mereka terhadap Rohingya. Kita harus menuntut agar pemerintah kita mengambil sikap yang tegas dan konsisten terhadap Myanmar dan menawarkan solusi yang adil dan berkelanjutan bagi Rohingya. Kita juga harus menuntut agar media kita memberikan liputan yang seimbang dan mendalam tentang Rohingya, serta menghindari stereotip dan stigma negatif. Kita juga harus menuntut agar masyarakat kita menunjukkan empati dan solidaritas terhadap Rohingya, serta menghindari prasangka dan diskriminasi.

Demikianlah artikel saya tentang sejarah Rohingya. Saya berharap artikel ini dapat memberikan informasi yang berguna dan menarik bagi Anda. Saya juga berharap artikel ini dapat membangkitkan kesadaran dan solidaritas Anda terhadap Rohingya. Terima kasih telah membaca artikel saya.***