Kerajaan Mataram berdiri pada abad ke 16. Sistem Feodalisme pada jaman ini bisa dibilang merupakan masa yang cukup membuat para rakyat Indonesia sengsara.
Dengan segala aturan yang diberlakukan oleh raja membuat para rakyat tidak bisa membantah dan harus menerima semua kesengsaraan yang didapatkan.
Kitab yang berisi undang-undang atau hukum yang menjadi pedoman untuk mengatur jalan nya hukum hingga saat ini berasal dari kitab manawa.
Dalam kitab tersebut berisi sebuah perkataan yang berarti “Tanah dan segala isinya yang di atas tanah tersebut merupakan milik raja”.
Dan pada jaman kerajaan mataram ini juga menerapkan sistem kelas sosial yang seperti kita ketahui hal tersebut merupakan bentuk dari sistem feodalisme.
Sistem Feodalisme adalah dimana seluruh sistem politik ataupun sistem sosial dan seluruh kekuasaan dikepalai oleh kaum bangsawan. Jadi sistem ini merupakan sistem yang dimana pejabat kerajaan menjadi tuan tanah dan rakyat Indonesia lah yang menjadi babu atau penggarapnya.
Pada jaman kerajaan Mataram menganut sistem rakyat adalah pemilik segalanya namun rakyat dibantu oleh strata sosial kedua di bawah raja yang bernama Nayaka dan Sentana atau sering disebut dengan kelompok patuh.
Nayaka merupakan birokrasi kerajaan, sedangkan Sentana merupakan keluarga atau orang yang dikehendaki oleh raja.
Nayaka dan Sentana tidak di gaji menggunakan uang ataupun barang lain nya, mereka digaji dengan menggunakan tanah, mereka diberikan tanah oleh raja namun bukan diberi untuk dijadikan hak milik tanah tersebut untuk mereka, tetapi mereka hanya di beri kekuasaan izin untuk mengelola tanah tersebut menjadi sesuatu hal yang bermanfaat.
Ketentuan siapa strata tertinggi diantara Nayaka dan Sentana ini dilihat dari berapa banyak tanah yang mereka dapatkan dari sang raja. Satuan tanah yang raja berikan sebagai bayaran disebut “Cacah”.
Tanah yang didapatkan tentu saja harus dikelola dengan baik oleh karena itu ada orang yang membantu untuk mengerjakan tanah tersebut, pengelola tanah tersebut dipanggil dengan sebutan “Bekel”. Bekel merupakan seseorang yang dipercaya untuk mengawasi tanah-tanah yang diberikan kepada Nayaka dan Sentana tersebut.
Selanjutnya bekel tersebut merekrut petani bayaran/pekerja bayaran untuk mengerjakan tanah tersebut yang biasa disebut dengan nama “Sikep”. Jadi Sikep merupakan petani bayaran yang menggarap setiap tanah. Sudah dipastikan dalam setiap tanah pasti ada 1 Sikep yang bekerja.
Lalu di bawah Sikep ada Batur atau Bujang. Batur atau bujang ini ialah orang yang membantu Sikep dalam mengerjakan tanah. Para pekerja mulai dari Sikep hingga Batur tidak pernah menerima gaji apapun dari hasil kerja mereka, cara mereka bertahan hidup adalah dengan menggunakan sistem feodal yang dimana semua adalah milik rakyat.
Sikep dan batur mengerjakan tanah lalu mereka mengambil hasil panen yang mereka dapatkan dari mengelola tanah tersebut hanya untuk makan.
Namun hasil panen tersebut sebagian besar juga harus disetorkan kepada si pemilik tanah, bukan hanya itu beban yang dipikul para pekerja juga ditambahkan yaitu dengan beban membayar pajak. Yang dimana bisa dilihat dalam sistem feodal yang ada di jaman Kerajaan Mataram ini menghisap masyarakat secara terus menerus tanpa memberikan upah atau gaji sekalipun.
Tentu saja seperti yang kita ketahui sebagai seorang sikep bukanlah suatu hal yang menyenangkan, karena mereka dituntut untuk menjadi buruh seumur hidup dan akan selalu dieksploitasi hartanya sepanjang hidupnya.
Namun mereka yang berprofesi sebagai seorang Sikep merasa bangga dengan dirinya sebagai seorang sikep. Karena sebagai seorang sikep setidaknya mereka merasa tidak menggelandang alias memiliki pekerjaan, oleh karena itu sikep termasuk kedalam salah satu strata sosial yang bisa dibanggakan oleh mereka.
Analogi Sikep diibaratkan sebagai para pegawai honorer yang dimana gaji honorer berada jauh dibawah UMR. Pegawai honorer yang dipaksa untuk bekerja dengan begitu kerasnya namun mereka belum mendapatkan kejelasan terkait gaji yang ditetapkan.
Lalu apa yang para pekerja honorer lakukan? Apakah mereka bekerja hanya untuk mendapatkan gaji yang sama sekali tidak sepadan dengan apa yang mereka kerjakan? Lalu bisa dilihat apakah mereka berani untuk protes?
Selanjutnya analogi Batur/Bujang, analogi Batur/Bujang sama seperti dengan para penyewa pakaian badut yang disediakan untuk para pengemis di lampu merah jalanan.
Dengan kemungkinan mereka masih bisa mengandalkan orang lain untuk mendapatkan uang. Sama hal nya seperti kita dalam hal nya membayar pajak, kita selalu diminta untuk membayar pajak secara rutin namun kadang kita tidak tahu kemana uang pajak itu pergi dan apakah uang pajak tersebut dipergunakan dengan sebaik mungkin oleh para pejabat-pejabat.
Itulah merupakan sedikit pembahasan mengenai sistem feodalisme yang ada pada masa Kerajaaan Mataram, perlakuan tersebut merupakan bentuk dari tindak ketamakkan serta kebijakkan yang membuat rakyat Indonesia sengsara pada masa itu.
Tanpa dipungkiri hal tersebut ternyata masih berlaku didalam kehidupan kita sehari-hari yang dimana mungkin sistem feodalisme tersebut telah menjadi budaya atau tradisi yang melekat pada masyarakat Indonesia.
Penulis: Ayu Navisatus Saniyah, mahasiswi semester satu prodi Ilmu Komunikasi FISIP Untirta (Universitas Sultan Ageng Tirtayasa).